Di
Di
Tersadar disadarkan
Kita bukan ada, tapi diadakan.
Kita bukan islam, tapi diislamkan.
Kita bukan iman, tapi diimankan.
Kita bukan mentaati, tapi ditaatkan.
Kita bukan kuat, tapi dikuatkan.
Kita bukan mencintai, tapi dicintakan.
Yang ada kita dibenarkan atau disalahkan, bukan membenarkan dan menyalahkan.
Tak sopan jika kita busungkan dada, lantaran melakukan ini dan itu, karena pada hakekatnya kita ini dilakukan.
Kita hanyalah di, sedangkan Allah adalah Maha Me.
Bersyukurlah bagi yang dicintai.
Karena mencintai, tak selalu dicintai.
Allahu ilahi robbi.
#Allah
Sebuah hadiah sehelai puisi yang ku seduh di gelas hati. Kumaniskan dengan sentuhan kerinduan akan ilahi robbi. Ku hidangkan hangat, agar menguapkan segala bebisik halus nafsu memburu. Mengalun lembut di pelataran hati, menyambut selebaran kehidupan yang masih kosong tanpa nikmat menyebut Sang Pemberi Nikmat. Segala sindiran Ilahi nampaknya jelas terasa di setiap seruput seduhan hati ini. Seakan cukuplah Sang Maha yang sah mengingatkan kelalaian. Pilu yang tak sebenarnya hadir menyelimuti hati, perlahan menjauh tak dihiraukan. Runcingnya prinsip hidup memerangi nafsu dijelmakan sebilah pedang yang sadis membunuh. Lalu, kata terakhirku untuk memikat nikmat yang belum sempat dibawa diri, kupersilahkan tuan ruh suci segera kembali membimbing diri.
Tersadar disadarkan
Kita bukan ada, tapi diadakan.
Kita bukan islam, tapi diislamkan.
Kita bukan iman, tapi diimankan.
Kita bukan mentaati, tapi ditaatkan.
Kita bukan kuat, tapi dikuatkan.
Kita bukan mencintai, tapi dicintakan.
Yang ada kita dibenarkan atau disalahkan, bukan membenarkan dan menyalahkan.
Tak sopan jika kita busungkan dada, lantaran melakukan ini dan itu, karena pada hakekatnya kita ini dilakukan.
Kita hanyalah di, sedangkan Allah adalah Maha Me.
Bersyukurlah bagi yang dicintai.
Karena mencintai, tak selalu dicintai.
Allahu ilahi robbi.
#Allah
Sebuah hadiah sehelai puisi yang ku seduh di gelas hati. Kumaniskan dengan sentuhan kerinduan akan ilahi robbi. Ku hidangkan hangat, agar menguapkan segala bebisik halus nafsu memburu. Mengalun lembut di pelataran hati, menyambut selebaran kehidupan yang masih kosong tanpa nikmat menyebut Sang Pemberi Nikmat. Segala sindiran Ilahi nampaknya jelas terasa di setiap seruput seduhan hati ini. Seakan cukuplah Sang Maha yang sah mengingatkan kelalaian. Pilu yang tak sebenarnya hadir menyelimuti hati, perlahan menjauh tak dihiraukan. Runcingnya prinsip hidup memerangi nafsu dijelmakan sebilah pedang yang sadis membunuh. Lalu, kata terakhirku untuk memikat nikmat yang belum sempat dibawa diri, kupersilahkan tuan ruh suci segera kembali membimbing diri.
Komentar
Posting Komentar